Tag Archives: Ministry of Finance

Penyusunan Program Pengujian Terinci Direktorat Jenderal Anggaran

Tujuan Audit :

Menilai efektivitas dan efisiensi Direktorat Jenderal Anggaran

Teknik audit

  1. Wawancara
  2. kuisioner
  3. Observasi
  4. Dokumentasi
  5. Teknik Lainnya

Kriteria 1 :

Apakah DJA memiliki struktur organisasi dan melakukan pengelolaan keuangan yang memadai untyuk mendukung pelayanan kepada masyarakat?

Tujuan :

 1. Apakah di dalam Direktorat Jenderal Anggaran ada pembagian struktur organisasi dan tupoksi yang jelas?

Prosedur :

a. Apa saja struktur organisasi yang terdapat dalam Direktorat Jenderal Anggaran?

b. Apa saja tugas, pokok, dan fungsi Direktorat Jenderal Anggaran?

c. Apakah ada perbedaan tugas, pokok, dan fungsi dari struktur organisasi Direktorat Jenderal Anggaran?

Tujuan :

2. Apakah ada pejabat yang bertanggung jwab atas pelaksanaan kegiatan suatu pelayanan?

Prosedur :

a. Apakah pejabat tersebut telah melakukantupoksiny dengan baik?

b. Apakah pejabat structural tersebut bertanggung jawab secara langsung atas kegiatan pelayanan yang berada dibawahnya?

c. Apakah ada pendelegasian tugas dan tangggung jawab atas suatu program?

Tujuan :

3. Apakah pegawai memiliki keahlian dan keterampilan yang memadai?

Prosedur :

a. Ada berapa jumlah pegawai di Direktorat Jenderal Anggaran?

b. Apakah ada kriteria tertentu dalm pengangkatan pegawai?

c. Apakah ada pergantian atau mutasi pegwai secara peirodik?

d. Apa saja satandar kompeteni yang harus dimiliki masing-masing pegawai?

e. Apakah ada monitoring terhadap kinerja pegawai?

Tujuan :

4. Apakah telah disusun anggaran yang sesuai dengan kebutuhan Direktorat Jenderal Anggaran?

Prosedur :

a. Apakah setiap kegiatan telah dianalisi setiap biayanya?

b. Apakah pengusulan biaya didasarkan atas kebutuhan kegiatan penganggaran keuangan?

c. Apakah ada mekanisme yang baku dalm proses penganggaran?

d. Apakah terdapat penyimapangan yang material?

e. Apakah pertanggung jawaban keuangan telah sesuai ketentuan?

Continue reading →

Kasus Audit Efisiensi

Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menemukan potensi kerugian negara sebesar Rp 9,72 triliun dari 12.947 kasus. Kerugian tersebut ialah hasil ketidakpatuhan hingga inefisiensi.

Kepala BPK Hadi Poernomo mengungkapkan hal itu di Jakarta, Selasa (2/4). Dia menyampaikan temuan BPK atas audit kinerja, pemeriksaan dengan tujuan tertentu, dan pemeriksaan keuangan di pemerintah pusat, daerah, BUMN, BUMD, perusahaan kontraktor kontrak kerja sama migas (KKKS), BLU, dan sebagainya di mana ditemukan.

Hadi mengatakan, sebanyak 3.990 kasus di antaranya merupakan ketidakpatuhan yang berpotensi merugikan negara sebesar Rp5,83 triliun.

Sebanyak 4.815 kasus ialah kelemahan Sistem Pengendalian Internal (SPI), 1.901 kasus penyimpangan administrasi, dan sebanyak 2.241 kasus berpotensi merugikan negara senilai Rp3,88 triliun.

“Rekomendasi BPK terhadap kasus tersebut ialah penyerahan aset atas penyetoran uang ke kas negara/daerah/perusahaan,” kata Hadi menjelaskan ketika melaporkan Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester II-2012 ke DPR kemarin.

Sementara untuk temuan yang kedua, rekomendasinya ialah perbaikan SPI atau tindakan administratif yang diperlukan.

DPR diminta untuk memantau penyelesaian terhadap kasus-kasus tersebut. “Tentu kami sepakat nilai temuan tersebut bukan jumlah yang kecil, tetapi sangat besar. Temuan tersebut terus terjadi secara berulang setiap tahun sehingga jika kita tidak bersama-sama mendorong penyelesaian tindaklanjutnya dan menanggulangi supaya tidak terus berulang, maka potensi terjadinya kerugian yang lebih besar dapat terjadi,” lanjut Hadi.

Termasuk dalam pemeriksaan kinerja 154 entitas di pemerintah pusat, daerah, dan sebagainya, Hadi menceritakan, BPK menemukan kasus inefektivitas sebanyak 1.440 kasus senilai Rp1,22 triliun, 36 kasus ketidahkhematan senilai Rp56,73 miliar, serta 12 kasus inefisien senilai Rp141,34 miliar.

“Selama proses pemeriksaan, entitas yang diperiksa telah menindaklanjuti temuan ketidakpatuhan yang mengakibatkan kerugian, potensi kerugian, dan kekurangan penerimaan dengan penyerahan aset dan/atau penyetoran uang ke kas negara/daerah/perusahaan senilai Rp124,13 miliar,” tutur Hadi.

Sebagai gambaran, pada pemeriksaan semester I-2012, BPK menemukan 13.105 kasus dengan nilai Rp12,48 triliun dengan rincian kasus ketidakpatuhan sebanyak 3.976 kasus senilai Rp8,92 triliun dan 9.129 kasus dengan nilai Rp3,55 triliun kelemahan SPI, inefisiensi dan inefektivitas serta penyimpangan administratif.

Pada periode pemeriksaan sebelumnya, penyetoran ke kas negara/daerah/perusahaan berjumlah Rp311,34 mliar.

Artikel ini dikutip dari : Metrotvnews.com, Selasa, 02 April 2013

Pendapat :

Kasus inefisiensi anggaran memang seing terjadi di Indonesia dan tidak jarang setelah diperiksa lebih mendalam ternyata kasus tersebut berujung dengan  tindak pidana korupsi. Salah satu yang paling mengemuka akhir-akhir ini adalah studi banding anggota DPR yang menhabiskan dana besar tapi tidak begitu membawa manfaat bagi masyarakat dan tidak adanya publikasi hasil dari studi banding ke negara lain tersebut.

Kasus lainnya yang mungkin masih terngiang di banak kita adalah adanya kasus inefisiensi di dalam tubuh PLN ketika dahlan ISkan masih menjabat pimpinan PLN yang berujug pemanggilan Dahalan oleh komisi VII DPR.

Menurut saya untuk mengurangi risiko inefisiensi ini diperlukan pengawasan yang lebih dalam dan pemeriksaan setiap adanya anggaran. Apabila kasus inefisiensi semakin banyak terjadi negara kita kan banyak dirugikan dengan pemborosan anggarana tanpa ada manfaat yang dapat dirasakn secara angsung oleh masyarakat.

Namun ada satu hal yang perlu dicermati tentang apa yang menjadi penyebab inefisiensi itu. Seperti kasus PLN kemarin dari beberapa sumber yang saya ketahui, inefisiensi tersebut terjadi karena PLN terlalu banyak menggunakan BBM solar untuk pembangkit listrik demi terpenuhinya kebutuhan listrik masyarakat. Jadi selain mengawasi juga perlu adanya solusi jika inefisiensi itu dilakukan untuk kepentingan rakyat. apabila inefisiensi itu terjaid karena adanya peneyelewengan maka oknum tersebut harus ditindak dan dihukum sesuai dengan kerugian yang ditimbulkan.

Identifikasi Area Kunci Direktorat Jenderal Anggaran

Setelah minggu lalu kita membahas tentan struktrur organsiasi dalam Direktorat Jenderal Anggaran , minggu ini kitaakan coba untuk mebahas alangkah-langkah dalm menetukan identifikasi area kunci dalam Direktorat Jenderal Anggaran.

Tahap identifikasi area kunci merupakan tahap yang paling kritis dan menentukan dalam pelaksanaan audit kinerja.  Pemilihan area kunci harus dilakukan mengingat luasnya bidang, program, dan kegiatan pada entitas yang diaudit sehingga tidak mungkin melakukan audit di seluruh area entitas.

Tahap ini menguraikan tentang bagaimana pemeriksa dapat menentukan area kunci dalam entitas yang diperiksa. Selain itu, akan diuraikan tentang bagaimana pemeriksa dapat menentukan urutan prioritas area kunci yang akan dipilih sebagai obyek pemeriksaan kinerja, yang akan menjadi fokus pemeriksaan, dengan menggunakan faktor-faktor pemilihan, yang berkaitan dengan elemen-elemen:

Risiko terhadap manajemen  yaitu risiko yang dihadapi oleh manajemen atas tidak tercapainya aspek 3E (ekonomi, efisiensi dan efektivitas).Dalam audit kinerja pendekatan audit berbasis risiko lebih banyak ditekankan pada risiko yang ditanggung manajemen terkait dengna 3E. Beberapa hala yang dapat digunakan untuk menilai terjadinya rrisiko didalam manajemen khususnya Direktorat Jenderal Anggaran adalah sebagai berikut:

  1. Risiko yang paling mendasar yang mungkin terjadi didalam Direktorat Jenderal Anggraran adalah penggelembungna anggaran untuk kepentingan tertentu untuik iti perlu dilakukann pengwasan lebih terhadap anggran yang ada dengan realisasi. Apakah penganggran tersebut wajar atau tidak dan seberapa besar persentase realisasi tersebut. Untuk selanjuntnya dilakukan koreksi kinerja apakah tujuan dari penggaran itu sesuai dengan target yang diharapkan atau tidak.
  2. Mengingat kita mengaudit eselon satu tentu akan ada sumberdaya manusia yang banyak dalam struktur organisasinya. Untuk itu dalm menentukan area kunci audit, seorang auditor harus memperhatiakn mutasi pegawai yang mungkin ada didalm Direktorat Jenderal Anggaran.
  3. Adanya ekspansi program baru secara mendadak. Setiap lemabaga pasti memiliki program unggulan untuk dapat meningktkan kinerjanya. Untuk itu harus diperiksa dan diteliti apakah program tersebut sesuai untuk mendukung tugas pokok dan fungsi dirjen Anggaran atau tidak
  4. Dalam susunan organisasi Dirjrn Anggaran ada tiga bagian yang memiliki tupoksi yang memiliki tupoksi yang hapir mirip yakni Direktorat Anggaran I, Direktorat Anggaran Ii, dan Direktorat Anggaran III. Maka dari itu perlu dilakukan uji apakah terjadi hubungna tanggung jawab yang tumpang tindih, tidak jelas atau membingungkan.

Signifikansi suatu program yaitu penilaian apakah suatu kegiatan dalam suatu area audit secara komparatif mempunyai pengaruh yang besar terhadap kegiatan lainnya dalam obyek audit secara keseluruhan. Konsep signifikansi dalalm audit kinerja hampir sama dengan konsep materialitas dalam audit keuangan. Signifikansi suatu area audit berkaitan dengan dampak yang dihasilkan area tersebut terhadap objek audit secara keseluruhan. Signifikansi bergantung pada apakah suatu kegiatan memiliki pengaruh yang besar terhadap kegiatan lainnya dalam objek audit secara keseluruhan. Penentuan signifikansi merupakan penilaian profesional di mana seorang auditor mempertimbangkan faktor-faktor seperti materialitas keuangan, batas kritis keberhasilan, dan visibilitas. Ada kalanya sebuah masalah dianggap tidak material oleh audit keuangan namun dianggap material oleh audit kinerja. Signifikansi dalam Dirjen Anggran menurut saya lebih ditekankan pada toleransi presentase realisasi dari anggaran yang telah ditentukan. Apakah realisasi anggaran ini wajra atau tidak dan mungkin ada faktor-faktor yang mempengaruhi sehingga realisiasi anggaran tidak sesua target.

Dampak pemeriksaan, yaitu pengaruh hasil audit terhadap perbaikan atas area yang diperiksa.Dampak audit merupakan nilai tambah yang diharapkan dari audit tersebut, yaitu suatu perubahan dan perbaikan yang dapat mengingkatkan 3E. Nilai tambah yang dihasilkan dari suatu audit merupakan hal penting dalam menentukan areakunci yang akan diperiksa secara terinci. Pertanyaan yang harus selalu diajukan oleh auditor adalah “Apakah audit yang dilaksanakan akan mengakibatkan suatu perubahan?” Apabila audit tampaknya tidak akan menimbulkan perubahan berarti pada kinerja manajemen, auditor dapat memberikan bobot yang rendah terhadap dampak audit.

Fungsi dari Direktorat Jenderal Anggaran adalah
  1. perumusan kebijakan teknis Departemen Keuangan di bidang penganggaran;
  2. pelaksanaan kebijakan di bidang penganggaran;
  3. perumusan standar, norma, pedoman, kriteria, dan prosedur di bidang penganggaran;
  4. pemberian bimbingan teknis dan evaluasi di bidang penganggaran;
  5. pelaksanaan administrasi direktorat jenderal

Setelah di audit apakah ada perubahan dari tupoksi tersebut menjadi lebih baik. Dengan adanya audit kineja diharapakan tupoksi yang belum memenehi kriteria akan dapat ditingkatakn. Untuk itu auditror mungkin dapat menetapkan indeks penilaian tupoksi mana yang sangat rendah pencapaian kinerjanya sehingga perlu diadakn audit yang lebih mendalam untuk mengaetahui penyebab kurang berjalanya tuga tersebut.

Auditabilitas berkaitan dengan kemampuan tim audit untuk melaksanakan audit sesuai dengan standar profesi, dengan kata lain setiap lembaga audit haruslah terlebih dahulu memiliki standar audit kinerja sebelum melaksanakan audit kinerja. Berbagai situasi mungkin terjadi, sehingga auditor memutuskan untuk tidak melaksanakan audit secara profesional pada area tertentu atau bahkan pada seluruh area entitas, baik karena keadaan entitas maupun keadaan auditor itu sendiri. Apabila hal ini terjadi, auditor perlu mempertimbangkan untuk tidak melanjutkan audit ke pengujian terinci. Dalam memutuskan hal tersbeut, auditor dapat mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut  :

  1. Sifat kegiatan yang tidak memungkinkan untuk diaudit,
  2. Auditor tidak memiliki keahlian yang disyaratka
  3. Area sedang dalam perubahan yang mendasar,
  4. Kriteria yang sesuai tidak tersedia untuk menilai kinerja,
  5. Lokasi pekerjaan lapangan tidak dapat dijangkau (bencana alam).

Setelah melakukan semuanya itu langkah selanjutnya menentukan area kunci. Area kunci yang sudah dipilih, selanjutnya diurutkan menurut prioritasnya dengan menggunakan faktor pemilihan. Sesuai dengan sumber daya pemeriksaan yang ada, pemeriksa memilih area kunci dengan prioritas tertinggi, yang akan menjadi fokus pelaksanaan pemeriksaan kinerja. Tujuan penentuan area kunci dalam perencanaan adalah untuk:

  1. menilai apakah entitas telah memiliki sistem pengendalian yang memadai untuk mengidentifikasi risiko-risiko kelemahan pengendalian yang akan dijadikan pertimbangan dalam menentukan area kunci;
  2. mempertimbangkan pengaruh peraturan perundang-undangan yang signifikan dan risiko kecurangan yang mungkin terjadi dan merancang prosedur untuk bisa memberikan keyakinan yang memadai bahwa kecurangan tersebut dapat dideteksi; dan
  3. menentukan area-area kunci yang memiliki risiko tinggi untuk dilakukan pemeriksaan setelah mengidentifikasi permasalahan, mempertimbangkan pengendalian intern, risiko kecurangan yang mungkin terjadi, dan pengaruh peraturan yang berpengaruh terhadap
  4. kegiatan organisasi, program dan/atau fungsi pelayanan publik yang akan diperiksa.

Dalam tahap ini pemeriksa dapat melakukan tiga kegiatan utama, yaitu

  1. mempertimbangkan kualitas pengendalian intern atas entitas/kegiatan/program yang akan diperiksa dengan menggunakan lima komponen SPI yang dikemukakan oleh COSO, yaitu: lingkungan pengendalian, penilaian risiko, aktivitas pengendalian, komunikasi dan informasi, serta monitoring;
  2. melakukan penilaian atas pengaruh peraturan perundang-undangan yang signifikan terhadap entitas/kegiatan/program yang akan diperiksa, serta
  3. mengidentifikasi potensi terjadinya kecurangan.

Struktur Organisasi Direktorat Jenderal Anggaran

Direktorat Jenderal Anggaran (DJA) dibentuk berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 24 Tahun 2010 tentang Kedudukan, Tugas, dan Fungsi Kementerian Negara serta Susunan Organisasi, Tugas, dan Fungsi Eselon I Kementerian Negara. Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 184/PMK.01/2010 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Keuangan, Direktorat Jenderal Anggaran adalah salah satu unit eselon I yang melaksanakan sebagian fungsi dari Kementerian Keuangan. Sentra dari peran Direktorat Jenderal Anggaran tersebut terletak pada tugasnya untuk merumuskan serta melaksanakan kebijakan dan standardisasi teknis di bidang penganggaran. Sesuai dengan Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM), kebijakan di bidang fiskal diarahkan pada keseimbangan antara peningkatan alokasi anggaran dengan upaya untuk memantapkan kesinambungan fiskal melalui pengingkatan penerimaan negara dan efisiensi belanja negara, serta dengan tetap mengupayakan penurunan defisit anggaran.
Susunan Organisasi 

Direktorat Jenderal Anggaran terdiri atas:

  1. Sekretariat Direktorat Jenderal;
  2. Direktorat Penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara;
  3. Direktorat Anggaran I;
  4. Direktorat Anggaran II;
  5. Direktorat Anggaran III;
  6. Direktorat Penerimaan Negara Bukan Pajak;
  7. Direktorat Sistem Penganggaran; dan
  8. Direktorat Harmonisasi Peraturan Penganggaran.

Tugas Pokok dan Fungsi

Direktorat Jenderal Anggaran
  1. perumusan kebijakan teknis Departemen Keuangan di bidang penganggaran;
  2. pelaksanaan kebijakan di bidang penganggaran;
  3. perumusan standar, norma, pedoman, kriteria, dan prosedur di bidang penganggaran;
  4. pemberian bimbingan teknis dan evaluasi di bidang penganggaran;
  5. pelaksanaan administrasi direktorat jenderal.

STRUKTUR ORGANISASI

Pengukuran Output Kualitatif

Pada era reformasi saat ini, fenomena pengukuran keberhasilan yang hanya menekankan pada input seperti di atas banyak mendapat sorotan tajam dari berbagai pihak. Oleh karena itu dipertimbangkan untuk memperbaiki indikator keberhasilan suatu instansi pemerintah agar lebih mencerminkan kinerja sesungguhnya. Tingkat keberhasilan harus diukur tidak semata-mata kepada input dari program instansi tetapi lebih ditekankan kepada output, proses, manfaat, dan dampak dari program instansi tersebut bagi kesejahteraan masyarakat.

Pengukuran input cenderung lebih mudah untuk dilakukan apabila input yang ada seperti tenaga, waktu dan material dapat diukur dengan uang. Sementara itu, pengukuran output umumnya lebih sulit untuk dilakukan terutama jika output yang dihasilkan bukan berupa barang.

Apa manfaat pengukuran secara kualitatif?

pengukuran kualitatif tidak memiliki presisi yang sama tetapi dapat memberikan informasi yang tidak dapat diperoleh dari metode kuantitatif. Metodekualitatif membantu untuk memahami harapan dan kebutuhan masyarakat. Pengukurankualitatif mencalup proses mendengarkan, mempelajari, menganalisis, danmenginterpretasikan pernyataan pelanggan.

Bagaimana cara pengukuran kualitatif?

Langkah yang paling mudah untuk mengukur output kita adalah dengan melakukan survei untuk mengukur tingkat kepuasan masyarakat terhadap pelayanan publik. Namun hal itu juga tidak menjadi jaminan mutlak karena kita tahu survei juga bisa diatur sedemikian rupa untuk mengaburkan fakta yang sebenarnya terjadi di lapanagan.

Pengukuran output juga bisa dinilai dari dampak yang ada pada masyarakat. Contohnya dengan adanya sekolah RSBI. Dengan biaya yang lebih mahal dan menggunakan pengantar bahasa Inggris apakah lulusan sekolah RSBI lebih unggul  dari siswa yang lulus dari sekolah biasa. Indikator untuk menilai keberhasilan ini mungkin dapat dilihat dengan membandingkan presentase siswa yang diterima di perguruan tinggi ternama apakah lebih baik sekolah biasa atau sekolah RSBI.

Untuk pemahan yang lebih dalam dapat dibaca pada artikel dibawah ini :

http://mohmahsun.blogspot.com/2011/04/memformulasikan-sistem-pengukuran.html

Quality vs Quantity

Dalam suatu entitas manajemen untuk dapat melakukan tindakan yang efisien guna memaksimalkan output dari ketersediaan input yang ada. Dengan kata lain bagaimana caranya dengan  input yang minimum dapat menhasilkan output yang diharapkan sesuai dengan spek dan standar kualitas dan kuantitas yang diinginkan. Apakah hal itu dapat dilakukan? Bagaimana caranya?

Misalnya kita memiliki perusahaan roti. Dengan modal uang (input) Rp1.000.000,00 kita dapat menghasilkan Output roti dengan jumlah 100 buah dengan ukuran yang sesuai dan rasa yang diminati pelanggan sehingga penjualan dai roti kita laku keras dipasaran. Semakin hari harga bahan baku akan semakin naik. Untuk produksi selanjutnya tentu kita ingin mengoptimalkan laba tentunya. Namun kita dihadapkan dengan dua pilihan karena modal kita terbatas yaitu ingin menghasilkan roti dengan kualitas yang sama agar terjamin bahwa roti kita tetap laku menurunkan kualitas roti kita agar laba kita tetap optimal.

Pilihan manakah yang harus kita utamakan? Menurut saya solusi terbaik adalah mencari supplier lain yang bisa menyediakan bahan baku sesuai dengan standar perusahaaan kita yang harganya lebih murah dari supplier kita sebelumnya. Dalam pasar tentu akan terjadi persaingan harga antar pedagang, jadi sudah kewajiban bagi manajemen untuk dapat memeaksimalkan input yang tersedia guna menghasilkan output yang optimal. Apabila kita menurunkan standar kualitas roti kita lama-kelamaan para pelanggan kita akan lari dan berpaling dari produk kita. Manajemen juga bisa mengambil kebijakan dengan mengurangi ukuran roti sedikit lebih kecil dari biasanya agar harganya bisa bersaing.

Namun, apabila hal tersbut tidak dapat dilakukan mau tidak mau kita harus menaikkan harga produk kita agar perusahaan kita tetap dapat berjalan dan tidak merugi. Menurut saya pribadi sebagai penikamta makanan, tidak apa-apa harga naik sedikit tapi kualitas terjamin daripada harga murah tetapi kualitas buruk

EFFICIENCY VS EQUITY

Untuk mendapatkan sesuatu yang kita inginkan biasanya kita harus merelakan atau menyerahkan hal lain yang sesungguhnya juga bermanfaat bagi kita. Jika kita mempunyai banyak tujuan sebagian tujuan harus kita lepaskan demi mengejar tujuan tertentu yang paling kita inginkan. Pembuatan keputusan mengharuskan kita merelakan tujuan untuk memperoleh tujuan yang lain. Trade off yang harus dihadapi masyarkat dewasa ini adalah trade off antara efisiensi dan keadilan (equity). Sebelum melangkah lebih jauh ada baiknya kita mengetahui tentang perbedaan dari efisiensi dan kedilan itu sendiri.

Lantas apakah pengertian dari efisiensi dan keadilan itu?

Efisiensi berarti bahwa masyarakat memperoleh hasil yang paling banyak/baik dari sumber daya yang terbatas. Sedangkan Keadilan adalah kondisi ideal ketika kesejahteraan ekonomi terbagi atau terdistribusikan secara adil diantara segenap anggota masyarakat. Jika diibaratkan dengan sebuah kue jik ukuran kue semakin besar maka semakin efisien dan bagaimana membagi kue setiap orang mendapat ukuran yang sama disebut dengn keadilan.

Jika diuraikan pengertianya satu per satu kedua hal tersebut tentu akan sangat diperlukan dalam sistem perekonomin suatu bangsa tetpi apisesungguhnya dari sudut pandang ekonomi, dua kata ini sulit sekali untuk digandengkan. Dalam kamus Efisiensi berarti: “when someone or something uses time and energy well, without wasting any”, maka melihat berbagai permasalahan yang ada di sekitar kita efisiensi memang diperlukan. contohny bagaimana pengelolaan pelabuhan yang tidak efisien karena terlalu banyak biaya-biaya tidak resmi, atau penggunaan waktu dan standar operasional yang tidak sinkron antara satu bagian dengan bagian yang lain akan berakibat meningkatkan biaya penerimaan dan pengiriman barang, yang dampak selanjutnya adalah berkurangnya daya saing produk-produk dalam negeri dibandingkan dengan buatan luar negeri, misalnya. Tetapi bagaimana jika efisiensi menjadi satu konsep dengan keadilan, efisiensi berkeadilan, dan itu ada dalam ranah bangunan perekonomian nasional?  Tentu tidak semudah itu. banyak sekali faktor yang harus dipertimbangkan Continue reading →

Audit Sektor Publik

PENGERTIAN
Audit Sektor Publik adalah kegiatan yang ditujukan terhadap entitas yang menyediakan pelayanan dan penyediaan barang yang pembiayaannya berasal dari penerimaan pajak dan penerimaan Negara lainnya dengan tujuan untuk membandingkan antara kondisi yang ditemukan dan kriteria yang ditetapkan. Audit Sektor Publik di Indonesia dikenal sebagai Audit Keuangan Negara, yang diatur dalam UU no 15 tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara.

TUJUAN
Tujuan audit sektor publik dipertegas dalam UU No. 15 tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara. UU ini menyatakan bahwa pemeriksaan berfungsi untuk mendukung keberhasilan upaya pengelolaan keuangan Negara secara tertib dan taat pada peraturan perundang-undangan yang berlaku.

JENIS AUDIT SEKTOR PUBLIK
Berdasarkan UU no. 15 tahun 2004 dan Standar Pemeriksaan Keuangan Negara (SPKN), terdapat tiga jenis audit keuangan Negara, yaitu:
1. Audit Keuangan
Adalah audit atas laporan keuangan yang bertujuan untuk memberikan keyakinan yang memadai (reasonable assurance), apakah laporan keuangan telah disajikan secara wajar, dalam semua hal yang material sesuai dengan prinsip akuntansi yang berlaku umum di Indonesia atau basis akuntansi komprehensif selain prinsip akuntansi yang berlaku umum di Indonesia.
2. Audit Kinerja
Adalah audit yang dilakukan secara objektif dan sistematis terhadap berbagai macam bukti untuk menilai kinerja entitas yang diaudit dalam hal ekonomi, efisiensi, dan efektivitas, dengan tujuan untuk memperbaiki kinerja dan entitas yang diaudit dan meningkatkan akuntabilitas publik.
3. Audit dengan Tujuan Tertentu
Adalah audit khusus, diluar audit keuangan dan audit kinerja yang bertujuan untuk memberikan kesimpulan atas hal yang diaudit.

STANDAR AUDIT
Standar Audit adalah ukuran mutu berupa persyaratan minimum yang harus dipenuhi oleh seorang auditor. Saat ini, BPK telah menetapkan Standar Pemeriksaan Keuangan Negara (SKPN) sebagai standar audit di lingkungan keuangan Negara. SPKN ini merupakan revisi dari Standar Audit Pemerintahan (SAP) 1995.
SKPN memuat standar umum yang mengatur tentang persyaratan professional auditor, standar pekerjaan lapangan yang memuat mutu pelaksanaan audit di lapangan, dan standar pelaporan yang memuat persyaratan laporan audit yang professional.

Pelaksanaan Audit Operasional

Pengertian Prosedur Pelaksanaan Audit Operasional
Prosedur adalah rangkaian metode yang telah mejadi pola tetap dalam melakukan suatu pekerjaan yang merupakan suatu kebulatan (Wursanto.1991:20).

Menurut Mulyadi (2001:5) prosedur adalah suatu urutan kegiatan klerikal, biasanya melibatkan beberapa orang dalam satu departemen atau lebih yang dibuat untuk menjamin penanganan secara seragam transaksi
perusahaan yang terjadi berulang-ulang.

Sedangkan menurut Moekijat (1989:194), ciri-ciri prosedur meliputi:
1. Prosedur harus didasarkan atas fakta-fakta yang cukup mengenai situasi tertentu, tidak didasarkan atas dugaan-dugaan atau keinginan.
2. Suatu prosedur harus memiliki stabilaitas, akan tetapi masih memiliki fleksibilitas. Stabilitas adalah ketentuan arah tertentu dengan perubahan yang dilakukan hanya apabila terjadi perubahan-perubahan penting dalam fakta-fakta yang mempengaruhi pelaksanaan prosedur. Sedangkan fleksibilitas digunakan untuk mengatasi suatu keadaan darurat dan penyesuaian kepada suatu kondisi tertentu.
3. Prosedur harus mengikuti jaman. Dari beberapa pengertian di atas maka dapat di simpulkan bahwa
prosedur adalah suatu urutan kegiatan yang telah menjadi pola tetap dalam melaksanakan kegiatan yang melibatkan beberapa orang dalam suatu departemen atau lebih yang didasarkan pada fakta-fakta dan tidak ketinggalan jaman.

Menurut Mulyadi (2002:9), secara umum auditing adalah suatu proses sistemetis untuk memperoleh dan mengevaluasi bukti secara obyektif mengenai pernyataan-pernyataan tentang kegiatan dan kejadian ekonomi,
dengan tujuan untuk menetapkan tingkat kesesuaian antara pernyataanpernyataan tersebut dengan kriteria yang telah ditetapkan serta penyampaian hasilnya kepada yang pemakai yang berkepentingan.

Sedangkan menurut Arens dan Loebbecke (1996:1), auditing adalah proses pengumpulan dan pengevaluasian bahan bukti tentang informasi yang dapat diukur mengenai suatu entitas ekonomi yang dilakukan seseorang yang kompeten dan independen untuk dapat menentukan dan melaporkan kesesuaian informasi dimaksud dengan kreteria yang telah ditetapkan.

Audit oprasional adalah pemeriksaan yang sistemetis terhadap kegiatan, program organisasi dan seluruh atau sebagian dari aktivitas dengan tujuan menilai dan melaporkan apakah sumber daya dan dana digunakan
secara ekonomis dan efisien dan apakah tujuan program, kegiatan, aktivitas, yang telah direncanakan dapat dicapai dengan tidak bertetangan dengan peraturan, ketentuan dan undang-undang yang berlaku (BPKP,1993:2).

Sedangkan menurut Mulyadi (2002:32), Audit Operasional merupakan review secara sistemetik kegiatan organisasi atau bagian dari padanya dalam hubungannya dengan tujuan tertentu.

Dari beberapa pengertian di atas maka dapat diambil kesimpulan bahwa Prosedur Pelaksanaan Auidit Operasional adalah suatu tahapan atau urutan kegiatan yang telah menjadi pola tetap dalam melaksanakan
pemeriksaan dan review yang sistemetis terhadap kegiatan organisasi atau bagian dari padanya dengan tujuan menilai dan melaporkan apakah sumber daya dan dana digunakan secara ekonomis, efisien, dan efektif.

Tujuan dan Ruang Lingkup Audit Operasional
Audit oprasional dimaksudkan terutama untuk mengidentifikasi kegiatan, program, aktivitas yang memerlukan perbaikan atau penyempurnaan dengan tujuan memberikan rekomendasi agar pengelolaan kegiatan, program,
aktivitas dilaksanakan secara ekonomis, efisien dan efektif (BPKP,1993:5).

Menurut Mulyadi (2002:32)Tujuan Audit Operasional diarahkan pada 3 sasaran, yaitu :
a. Mengevaluasi kinarja
b. Mengidentifikasi kesempatan untuk peningkatan
c. Membuat rekomendasi untuk perbaikan atau tindakan lebih lanjut.

Continue reading →

 Dengan Rahmat Tuhan Yang Maha Esa

Peserta Konferensi Nasional Aparat Pengawasan Intern Pemerintah Tahun 2010 menyadari bahwa saat ini terdapat permasalahan nasional yaitu kualitas Laporan Keuangan Pemerintah belum baik, efisiensi dan efektifitas pengelolaan keuangan negaran belum optimal, masih tingginya korupsi terutama dalam pengadaan barang/jasa pemerintah dan rendahnya kualitas pelayanan publik.
Menyadari permasalahan tersebut, peserta Konferensi Nasional Aparat Pengawasan Intern Pemerintah Tahun 2010 bersepakat untuk mendorong penerapan SPIP di seluruh instansi pemerintah dan meningkatkan peran APIP melalui reviu, audit, evaluasi, pemantauan dan kegiatan pengawasan lainnya yang mencakup tahap perencanaan, penganggaran, pelaksanaan, penatausahaan dan pertanggungjawaban pengelolaan keuangan negara/daerah agar:
  1. Terwujudnya laporan keuangan tahun 2011 yang Wajar Tanpa Pengecualian.
  2. Menurunnya tingkat korupsi dalam proses pengadaan barang/jasa.
  3. Meningkatnya kinerja pengelolaaan keuangan negara/daerah yang efisien dan efektif.
  4. meningkatnya kualitas pelayanan publik.
Dalam rangka melaksanakan peran tersebut, Peserta Konferensi Nasional Aparat Pengawasan Intern Pemerintah Tahun 2010 bersepakat untuk:
  1. Meningkatkan integritas, kompetensi dan profesionalisme SDM APIP.
  2. Mempercepat reformasi birokrasi APIP.
  3. Meningkatkan kualitas koordinasi, komunikasi dan sinergitas pengawasan.
  4. Meningkatkan kualitas tata kelola pengawasan.
Deklarasi Aparat Pengawasan Intern Pemerintah ini, dideklarasikan di Bandung, tanggal 28 November 2010.